PROYEK GEOTHERMAL SARULLA: MEMPERTEGAS PERLINDUNGAN UNTUK RAKYAT PAHAE
TANGGAL 22 Desember tahun lalu atas nama sebuah lembaga saya Shohibul Anshor Siregar (Sekretaris Umum) bersama Dr.Hulman Sitompul (Ketua Umum) menandatangani sepucuk surat yang ditujukan kepada BAPEDALDA Provinsi Sumatera Utara. Inilah isi pokok surat itu:
Luat (kawasan, wilayah) Pahae, sebagai dasar perikatan (wadah) yang kami berinama Persatuan Luat Pahae Indonesia, adalah suatu kawasan di dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang terdiri dari 4 Kecamatan (Pahae Julu, Pahae Jae, Purbatua dan Simangumban). Wadah itu biasa kami singkat PLPI, anggotanya tersebar di seluruh Indonesia dan Majlis Pimpinan Pusat berkedudukan hukum di Medan. PLPI amat concern dengan upaya-upaya untuk memajukan pembangunan di Luat Pahae.
Sebagai bentuk kepedulian nyata atas kemajuan Luat Pahae, dan dengan memperhatikan secara cermat proses perkembangan terkait proyek geothermal Sarulla, kami menilai perlu menyampaikan beberapa hal, antara lain:
Sepanjang dikerjakan sesuai aturan yang benar dan dengan tingkat transparansi yang maksimum, berkeadilan dan memberi kemanfaatan yang besar terhadap kemajuan masyarakat, PLPI akan berada di garis terdepan dalam mendukung operasionalisasi proyek geothermal Sarulla.
Namun mencermati proses yang berlangsung sampai saat ini, PLPI menilai telah terjadi penyimpangan perencanaan maupun prakonstruksi, terutama dalam penyusunan dan sosialisasi AMDAL. PLPI amat menaruh keberatan jika dokumen AMDAL disetujui dengan tanpa mengindahkan, atau bahkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan normatif yang berlaku sebagaimana disampaikan sebagai masukan oleh peserta seminar yang pernah diselenggarakan tanggal 11 Nopember 2008 yang lalu di kantor BAPEDALDA Provinsi Sumatera Utara.
Surat itu ternyata tidak digubris hingga tiga minggu lalu ada undangan untuk bertemu dengan pihak pemilik proyek yang diwakili 3 (tiga) orang dengan keahlian masing-masing.
Saya tegaskan kepada mereka bahwa saya tidak banyak tahu, oleh karena itu perkenankan saya banyak bertanya agar pada gilirannya kelak pertanyaan-pertanyaan serupa dari masyarakat dapat saya jawab tanpa harus mengarang.
Pertama, Indonesia saat ini mengalami degradasi martabat yang luar biasa di mata rakyat dan di mata dunia dari pengalaman pengelolaan proyek-proyek Eenergi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dari akumulasi kasus serupa di Indonesia ada tiga permasalahan besar yang patut disebut sebagai kejahatan besar dan luar biasa, yakni (a) kejahatan kemanusiaan (b) kejahatan keuangan negara, dan (3) kejahatan lingkungan;
Kedua, Semangat neolib yang sedang membara di negeri ini sudah memposisikan negara sebagai wilayah dan aset korporatokrasi. Sejumlah BUMN termasuk PTPN yang ada di Sumatera Utara akan diprivatisasi, karena dianggap akan menguntungkan secara material. Jika dilihat dari komposisi permodalan, sebetulnya milik siapakah proyek geotermal Sarulla ini?
Ketiga, Pernahkah proyek ini menghitung dengan sungguh-sungguh manfaat dan mudharat yang akan diterima oleh masyarakat di Pahae (lokasi proyek) dan adakah hal itu sudah disampaikan secara baik kepada masyarakat hingga mereka tahu ada resiko di samping keuntungan (bagi mereka dan bagi negara).
Keempat, Apakah karena sifat kontrak karya dengan berbagai perusahaan asing serta-merta akan menghilangkan hak-hak normatif warga negara untuk mengetahui informasi yang patut diperolehnya, misalnya tentang Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)? Dapatkah kami memohon hari ini, dan saat ini, di manakah dan dari pihak manakah kami memperoleh dokumen Amdal tersebut?
Kelima, Dapatkah kita menghitung secara cermat partisipasi angkatan kerja lokal dalam proyek itu dan bagaimana strategi agar pemahaman masyarakat makin baik terhadap hal-hal yang bukan menjadi keahliannya sehingga tidak akan muncul konflik atas dasar social jeleaous di kemudian hari? Saya yakin protes masyarakat bisa dengan mudah dipatahkan dengan mobilisasi kekuatan alat-alat pemaksa dan intimidasi. Tetapi bukan itu yang kita ingin saksikan. Cukuplah Porsea menjadi contoh pahit dengan proyek pulpnya yang memicu konflik berdarah itu.
Di berbagai tempat pengalaman menunjukkan bahwa manajemen proyek selalu dengan sukses menerapkan strategi bipolar and segmentary process (politik belah bambu). Kepada para elit tertentu dibagi proyek-proyek yang dapat menjadi benteng pertama untuk setiap perlawanan sosial.
Sambil menunggu realisasi dari ketiga utusan itu, saya mulai frustrasi. Ingin saya sampaikan bahwa harus ada jaminan rakyat terlindungi dan bahkan terjamin eskalasinya secara sosial, ekonomi dan budaya, jangan justru sebaliknya dalam kaitan dengan proyek raksasa multinasional itu.
Memang benar (mungkin) bahwa proyek ini memiliki kapasitas 330 MW (mega watt), suatu jumlah yang fantastis. Dengan pelibatan konsorsium MedcoEnergi bersama Itochu Corp (Itochu) dari Jepang dan Ormat Technologies, Inc. (Ormat) dari AS, bagaimana “wajah dan nasib Indonesia” di dalamnya.
“Pembangunan proyek Sarulla yang memiliki kapasitas 330 MW (mega watt) oleh MedcoEnergi bersama Itochu Corp. (Itochu) dari Jepang dan Ormat Technologies, Inc. (Ormat) dari AS dilakukan dalam tiga tahap. Pembangunan tahap pertama ditargetkan selesai tahun 2010, sedangkan tahap kedua dan ketiga diperirakan kelar awal dan akhir 2011. Setiap tahap pembangunannya menghabiskan dana US$ 200 juta (Rp 1,8 triliun), dengan masing-masing tahap mampu memproduksi listrik sekitar 110 MW. Sumber pendanaan 30 persen dari nilai total investasi akan menggunakan dana internal perseroan. Sisanya sebesar 70 persen merupakan pinjaman kepada JBIC dan Overseas Private Investment Corporation (OPIC). Proyek Sarulla dimiliki, antara lain, Medco sebesar 62,5 persen, Itochu (Jepang) 25 persen, dan Ormat 12,5 persen. Walaupun MedcoEnergi melepaskan 25 persen saham di proyek Sarulla, perusahaan ini tetap akan menjadi mayoritas dengan sisa kepemilikan sebesar 37,5 persen” (TEMPO, Juni 2007) .
Angka-angka prediktif itu amat menggiurkan. Tetapi sekali lagi, siapa mendapat apa dan bagaimana nasib rakyat?
Menurut sebuah sumber, dari pengalaman proyek-proyek serupa di Indonesia akurasi penilaian dan pengawasan Amdal oleh pemerintah maupun investor selalu lemah yang mengakibatkan kerugian besar bagi rakyat. Konon proyek serupa di Dieng-Bedugul, Bali (Juni 2007 lalu) pernah menabur bencana. Salah satu pipa meledak mengakibatkan luka bakar serius gangguan sesak napas bagi rakyat. Pipa itu berdiameter 36 cm, berisi air mendidih sekitar 100 derajat Celsius.
Rupanya bukan hanya itu penderitaan rakyat Dieng. Hutan yang dulunya lebat menjadi gundul. Walaupun ditanami dengan tanaman sayuran, tatapi pada musim hujan areal perbukitan itu rawan longsor.
Apa pun kata raksasa pemilik mega proyek geothermal Sarulla ini, saya ingin melakukan studi tentang kondisi sosial ekonomi awal rakyat sebelum operasionalisasi proyek. Setelah mengirim utusan ke BAPEDALDA Sumatera Utara beberapa hari lalu, ternyata kita masih harus menerima bahwa sampai saat ini belum ada dokumen yang bisa dipelajari. Ini sebuah tanda keraguan awal yang mengindikasikan masalah besar kemudian. Padahal jika Amdal sudah ada, dapatlah dimulai sosialisasi tentang proyek ini secara baik agar rakyat tahu.
Beratkah bagi pemilik proyek ini untuk bersama-sama menjaga kepentingan dan kemaslahatan rakyat terserah berapa banyak uang yang mereka peroleh sebagai keuntungan bersih dari proyek itu? Seyogyanya tidak boleh lagi ijuk di para-para, hotang di parlabian. Jika hanya na bisuklah yang punya hata dan kuasa, tetaplah yang bodoh ke pembantaian. Jangan begitu lagilah.
sumber :http://nbasis.wordpress.com
Luat (kawasan, wilayah) Pahae, sebagai dasar perikatan (wadah) yang kami berinama Persatuan Luat Pahae Indonesia, adalah suatu kawasan di dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang terdiri dari 4 Kecamatan (Pahae Julu, Pahae Jae, Purbatua dan Simangumban). Wadah itu biasa kami singkat PLPI, anggotanya tersebar di seluruh Indonesia dan Majlis Pimpinan Pusat berkedudukan hukum di Medan. PLPI amat concern dengan upaya-upaya untuk memajukan pembangunan di Luat Pahae.
Sebagai bentuk kepedulian nyata atas kemajuan Luat Pahae, dan dengan memperhatikan secara cermat proses perkembangan terkait proyek geothermal Sarulla, kami menilai perlu menyampaikan beberapa hal, antara lain:
Sepanjang dikerjakan sesuai aturan yang benar dan dengan tingkat transparansi yang maksimum, berkeadilan dan memberi kemanfaatan yang besar terhadap kemajuan masyarakat, PLPI akan berada di garis terdepan dalam mendukung operasionalisasi proyek geothermal Sarulla.
Namun mencermati proses yang berlangsung sampai saat ini, PLPI menilai telah terjadi penyimpangan perencanaan maupun prakonstruksi, terutama dalam penyusunan dan sosialisasi AMDAL. PLPI amat menaruh keberatan jika dokumen AMDAL disetujui dengan tanpa mengindahkan, atau bahkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan normatif yang berlaku sebagaimana disampaikan sebagai masukan oleh peserta seminar yang pernah diselenggarakan tanggal 11 Nopember 2008 yang lalu di kantor BAPEDALDA Provinsi Sumatera Utara.
Surat itu ternyata tidak digubris hingga tiga minggu lalu ada undangan untuk bertemu dengan pihak pemilik proyek yang diwakili 3 (tiga) orang dengan keahlian masing-masing.
Saya tegaskan kepada mereka bahwa saya tidak banyak tahu, oleh karena itu perkenankan saya banyak bertanya agar pada gilirannya kelak pertanyaan-pertanyaan serupa dari masyarakat dapat saya jawab tanpa harus mengarang.
Pertama, Indonesia saat ini mengalami degradasi martabat yang luar biasa di mata rakyat dan di mata dunia dari pengalaman pengelolaan proyek-proyek Eenergi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dari akumulasi kasus serupa di Indonesia ada tiga permasalahan besar yang patut disebut sebagai kejahatan besar dan luar biasa, yakni (a) kejahatan kemanusiaan (b) kejahatan keuangan negara, dan (3) kejahatan lingkungan;
Kedua, Semangat neolib yang sedang membara di negeri ini sudah memposisikan negara sebagai wilayah dan aset korporatokrasi. Sejumlah BUMN termasuk PTPN yang ada di Sumatera Utara akan diprivatisasi, karena dianggap akan menguntungkan secara material. Jika dilihat dari komposisi permodalan, sebetulnya milik siapakah proyek geotermal Sarulla ini?
Ketiga, Pernahkah proyek ini menghitung dengan sungguh-sungguh manfaat dan mudharat yang akan diterima oleh masyarakat di Pahae (lokasi proyek) dan adakah hal itu sudah disampaikan secara baik kepada masyarakat hingga mereka tahu ada resiko di samping keuntungan (bagi mereka dan bagi negara).
Keempat, Apakah karena sifat kontrak karya dengan berbagai perusahaan asing serta-merta akan menghilangkan hak-hak normatif warga negara untuk mengetahui informasi yang patut diperolehnya, misalnya tentang Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)? Dapatkah kami memohon hari ini, dan saat ini, di manakah dan dari pihak manakah kami memperoleh dokumen Amdal tersebut?
Kelima, Dapatkah kita menghitung secara cermat partisipasi angkatan kerja lokal dalam proyek itu dan bagaimana strategi agar pemahaman masyarakat makin baik terhadap hal-hal yang bukan menjadi keahliannya sehingga tidak akan muncul konflik atas dasar social jeleaous di kemudian hari? Saya yakin protes masyarakat bisa dengan mudah dipatahkan dengan mobilisasi kekuatan alat-alat pemaksa dan intimidasi. Tetapi bukan itu yang kita ingin saksikan. Cukuplah Porsea menjadi contoh pahit dengan proyek pulpnya yang memicu konflik berdarah itu.
Di berbagai tempat pengalaman menunjukkan bahwa manajemen proyek selalu dengan sukses menerapkan strategi bipolar and segmentary process (politik belah bambu). Kepada para elit tertentu dibagi proyek-proyek yang dapat menjadi benteng pertama untuk setiap perlawanan sosial.
Sambil menunggu realisasi dari ketiga utusan itu, saya mulai frustrasi. Ingin saya sampaikan bahwa harus ada jaminan rakyat terlindungi dan bahkan terjamin eskalasinya secara sosial, ekonomi dan budaya, jangan justru sebaliknya dalam kaitan dengan proyek raksasa multinasional itu.
Memang benar (mungkin) bahwa proyek ini memiliki kapasitas 330 MW (mega watt), suatu jumlah yang fantastis. Dengan pelibatan konsorsium MedcoEnergi bersama Itochu Corp (Itochu) dari Jepang dan Ormat Technologies, Inc. (Ormat) dari AS, bagaimana “wajah dan nasib Indonesia” di dalamnya.
“Pembangunan proyek Sarulla yang memiliki kapasitas 330 MW (mega watt) oleh MedcoEnergi bersama Itochu Corp. (Itochu) dari Jepang dan Ormat Technologies, Inc. (Ormat) dari AS dilakukan dalam tiga tahap. Pembangunan tahap pertama ditargetkan selesai tahun 2010, sedangkan tahap kedua dan ketiga diperirakan kelar awal dan akhir 2011. Setiap tahap pembangunannya menghabiskan dana US$ 200 juta (Rp 1,8 triliun), dengan masing-masing tahap mampu memproduksi listrik sekitar 110 MW. Sumber pendanaan 30 persen dari nilai total investasi akan menggunakan dana internal perseroan. Sisanya sebesar 70 persen merupakan pinjaman kepada JBIC dan Overseas Private Investment Corporation (OPIC). Proyek Sarulla dimiliki, antara lain, Medco sebesar 62,5 persen, Itochu (Jepang) 25 persen, dan Ormat 12,5 persen. Walaupun MedcoEnergi melepaskan 25 persen saham di proyek Sarulla, perusahaan ini tetap akan menjadi mayoritas dengan sisa kepemilikan sebesar 37,5 persen” (TEMPO, Juni 2007) .
Angka-angka prediktif itu amat menggiurkan. Tetapi sekali lagi, siapa mendapat apa dan bagaimana nasib rakyat?
Menurut sebuah sumber, dari pengalaman proyek-proyek serupa di Indonesia akurasi penilaian dan pengawasan Amdal oleh pemerintah maupun investor selalu lemah yang mengakibatkan kerugian besar bagi rakyat. Konon proyek serupa di Dieng-Bedugul, Bali (Juni 2007 lalu) pernah menabur bencana. Salah satu pipa meledak mengakibatkan luka bakar serius gangguan sesak napas bagi rakyat. Pipa itu berdiameter 36 cm, berisi air mendidih sekitar 100 derajat Celsius.
Rupanya bukan hanya itu penderitaan rakyat Dieng. Hutan yang dulunya lebat menjadi gundul. Walaupun ditanami dengan tanaman sayuran, tatapi pada musim hujan areal perbukitan itu rawan longsor.
Apa pun kata raksasa pemilik mega proyek geothermal Sarulla ini, saya ingin melakukan studi tentang kondisi sosial ekonomi awal rakyat sebelum operasionalisasi proyek. Setelah mengirim utusan ke BAPEDALDA Sumatera Utara beberapa hari lalu, ternyata kita masih harus menerima bahwa sampai saat ini belum ada dokumen yang bisa dipelajari. Ini sebuah tanda keraguan awal yang mengindikasikan masalah besar kemudian. Padahal jika Amdal sudah ada, dapatlah dimulai sosialisasi tentang proyek ini secara baik agar rakyat tahu.
Beratkah bagi pemilik proyek ini untuk bersama-sama menjaga kepentingan dan kemaslahatan rakyat terserah berapa banyak uang yang mereka peroleh sebagai keuntungan bersih dari proyek itu? Seyogyanya tidak boleh lagi ijuk di para-para, hotang di parlabian. Jika hanya na bisuklah yang punya hata dan kuasa, tetaplah yang bodoh ke pembantaian. Jangan begitu lagilah.
sumber :http://nbasis.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentar Anda 0=0